Rabu, 07 Desember 2011

Hijrah di Zaman Edan

DI setiap akhir tahun, tak terkecuali pada tahun baru Hijriyah selalu ada ruang tersendiri untuk setidaknya merenung atas tindak laku maupun tutur yang telah dijalani selama setahun. Memutar memori atas capaian-capaian yang sudah terwujud. Mengoreksi diri sambil menyusun setumpuk agenda yang akan dijalankan di tahun yang baru. Harapan dari kontemplasi itu cuma satu: tahun depan harus lebih baik ketimbang tahun ini. Selaras pula dengan sabda Nabi SAW yang familiar agar selalu mengaktualisasikan diri ini menjadi kian baik dari hari kemarin, dan hari esok harus kian menjadi baik ketimbang hari ini. Ukuran baik di sini memiliki artian semakin beradab lakunya di kehidupan sehari-hari.
  
Apa yang sudah terjadi di tahun kemarin merupakan pelajaran besar dan bahan perenungan untuk semakin matang dan bijak dalam melangkah di tahun depan. Momentum tahun baru hijriyah adalah momentum di mana umat Islam sebagai pihak mayoritas dalam membangun bangsa ini kian lebih bijak akan posisinya sebagai pihak mayoritas. Artinya, melihat para pendiri bangsa ini yang dengan susah payah menyatukan keindonesian tanpa ada nuansa dominasi mayoritas-minoritas berdasar agama. Justru logika mayoritas menjadikannya bersikap lebih dewasa dengan melindungi pihak minoritas. Sebuah hal yang  bertolak belakang dengan saat ini di mana ada sekelompok umat Islam yang bercita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia.
  
Ironisnya, nama Islam di Indonesia menjadi tercoreng oleh ulah sekelompok kecil yang mengatasnamakan Islam dengan klaim kebenaran menurut versinya sendiri. Hal itu terlihat jelas pada penyerangan Jemaah Ahmadiyah beberapa waktu lalu serta aksi bom bunuh diri yang menyasar tempat-tempat ibadah. Gara-gara aksi sekelompok kecil umat Islam inilah, menjadikan seluruh umat Islam di Indonesia terkena stigma negatif. Sebagai pihak mayoritas, umat Islam selayaknya tampil dengan sikap welas asih berdampingan dengan pihak minoritas. Hegemoni sebagai pihak mayoritas segera dibuang jauh-jauh karena Indonesia dibangun atas dasar prinsip kesetaraan sebagai sesama bangsa.
  
Hal itulah yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu Fathul Makkah. Awalnya, dakwah Nabi di Makkah mendapat respons yang kurang baik dari penduduk Makkah serta Kaum Quraisy. Respons itu berwujud siksaan fisik, teror, dan intimidasi yang dialamatkan kepada para pengikut Nabi. Dalam suasana yang tidak kondusif dan secara pertimbangan akal tidak nyaman untuk keberlangsungan dakwah, maka Nabi beserta pengikutnya memutuskan hijrah ke Madinah.
  
Kontras apa yang terjadi di Makkah, kedatangan Nabi beserta pengikutnya justru disambut sukacita oleh penduduk Madinah (Yatsrib). Citra sebagai seorang yang jujur serta santun yang membuat dakwah Nabi cepat diterima dan menjadikan penganut Islam semakin bertambah besar.
  
Ketika Nabi bermaksud untuk mengunjungi kota kelahirannya dengan disertai banyak pengikut, Kaum Quraisy begitu cemas melihat perkembangan jumlah penganut Islam yang semakin besar. Mereka khawatir kalau-kalau Muhammad yang dulu sering diintimidasi, pengikutnya banyak yang mengalami siksaan fisik, kini akan membalas dendam dengan menyerbu Makkah. Tapi, meskipun punya kekuatan untuk membalas, Muhammad justru tidak menggunakannya. Tidak ada dendam, tidak ada pula pertumpahan darah sedikitpun di antara mereka.
  
Bertolak dari sini, hijrah nabi ternyata menjadi awal dari kesuksesan dakwah beliau sekaligus menegaskan akan kebangkitan umat Islam kala itu setelah diperlakukan tidak baik oleh penentang Muhammad di Makkah. Maka sangat tepat apa yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab dalam menetapkan awal penanggalan Islam dimulai ketika Nabi berhijrah ke Madinah yang merupakan  atas usulan dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Hijrahnya nabi bisa dikatakan sebagai titik tolak keberhasilan misi dakwah Nabi. Maka momentum itulah yang dipakai oleh Umar hingga sekarang ini.
  
Aktualisasi Hijrah
  
Kehidupan di zaman yang disebut sebagai zaman edan seperti sekarang ini, laku amoral diagung-agungkan dan menjadi tuntunan. Gaya hidup hedonis dijadikan perlombaan para elite. Tak sadar jika rakyat yang diwakilinya diapit oleh upah yang minim. Berbagai skandal korupsi terus bermunculan menjadi bahan berita saban hari. Ironisnya, mereka yang tersandung kasus korupsi bukan merasa malu melainkan masih asyik tebar senyum dan pesona. Berbeda dengan  para elite di Jepang dan Brazil yang langsung mengundurkan diri ketika baru diisukan terlibat skandal korupsi meskipun pada ujungnya divonis tidak bersalah.
  
Tahun baru hijriyah hendaknya dijadikan momentum kebangkitan umat Islam pada pelbagai aspek kehidupan. Kebangkitan itu dimulai dari menanamkan kembali citra Islam yang damai dan santun. Ini menjadi hal yang urgen ketika wajah muslim Indonesia di dalam percaturan dunia internasional masih identik dengan konflik SARA. Hal itu bisa dilihat dari pro-kontra eksistensi ajaran Ahmadiyah di Indonesia yang membuahkan derita dan korban jiwa serta permasalahan izin pendirian rumah ibadah yang acapkali menyulut permusuhan sesama anak bangsa. Padahal, muslim Indonesia dikenal sangat ramah dan toleran. Wujud toleransi itu bisa dilihat tidak adanya upaya formalisasi syariat dalam bernegara berupa perumusan bersama Pancasila seperti yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini.

Hakikat hijrah dalam konteks sekarang ialah berpindah perilaku alias mengubah laku buruk  menuju laku terpuji. Termasuk mengubah laku korupsi yang konon sudah mendarah daging pada bangsa ini. Korupsi sejatinya berawal dari mental rakus dan tamak. Tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Karena korupsi konon sulit untuk diberantas ibarat pohon yang sudah berakar kuat, maka jalan hijrahnya pun harus dimulai dari akarnya juga dengan melalui menjadi pribadi-pribadi yang banyak berkorban daripada mengharap pamrih, peka terhadap lingkungan sosial sekitar serta meninggalkan gaya hidup hedonis. Itulah hijrah dalam bentuk sederhana namun akan bermanfaat besar dalam menghilangkan mental rakus dan individualistis. Untuk itulah menghidupkan kembali spirit hijrah perlu dilakukan. Tidak hanya ketika tahun baru saja, melainkan setiap hari. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HTML Comment Box is loading comments...